Selasa, 09 Maret 2010

Eksternalitas, Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan Berkelanjutan dalam Perspektif Teoritis

Eksternalitas, Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan Berkelanjutan
dalam Perspektif Teoritis


Oleh
Imam Mukhlis




Abstract


This research aims to explain the dimension of externality, economic growth and sustainable development. Teoritical perspectives have explained that there is correlation between that variables. Externality can cause decreasing of economic development, if there are not protection to environment. To achieve sustainable development on the economic development process, people must respect to environment condition and create the positif externality from their economic activity.


Keywords : Externality, Economic Growth, Sustainable Development and Endegenous Growth Model



Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang meliputi perubahan dalam struktur sosial, perubahan dalam sikap hidup masyarakat dan perubahan dalam kelembagaan. Selain itu, pembangunan juga meliputi perubahan dalam tingkat pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan pendapatan nasional, peningkatan kesehatan dan pendidikan serta pemberantasan kemiskinan. Dalam pembangunan tersebut terkandung suatu upaya yang terus menerus dilakukan oleh penduduk negara guna mencapai sasaran kesejahteraan yang dinginkannya baik dalam jangka pendek (short run) maupun dalam jangka panjang (long run). Dalam hal ini menurut Todaro (2000:17) pembangunan suatu negara dapat diarahkan pada tiga hal pokok, yaitu meningkatkan ketersediaan dan distribusi kebutuhan pokok bagi masyarakat, meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat dan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengakses baik kegiatan ekonomi dan kegiatan sosial dalam kehidupannya
Dinamika perekonomian dunia dewasa ini ditandai oleh semakin tingginya volume aktifitas kegiatan ekonomi masyarakat. Adanya penambahan populasi, semakin tinggi permintaan input produksi dan tuntutan produk akhir yang ramah lingkungan merupakan ciri dalam perkembangan kegiatan ekonomi masyarakat. Dalam hal ini liberalisasi dan globalisasi perekonomian dunia pada satu sisi dapat meningkatkan percepatan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat, namun pada sisi lain juga dapat mengakibatkan tergerusnya kualitas lingkungan. Konsekuensi dari liberalisasi yang terjadi, berbagai kawasan di dunia mensiasatinya dengan membentuk integrasi ekonomi. Hal ini sebagai langkah antisipatif manakala liberalisasi terjadi secara mendunia, masing-masing negara di berbagai kawasan telah siap dengan berbgai konsekuensi yang akan terjadi. Dalam hal ini menurut Meier (1995:507) integrasi perekonomian kawasan akan menghasilkan tiga macam manfaat, yaitu ; menstimulir eksistensi dan ekspansi industri manufaktur dengan basis yang lebih regional, meningkatkan manfaat perdagangan dan menimbulkan persaingan yang semakin intensif sehingga dapat menaikkan tingkat efisiensi kawasan.
Implikasi penting dengan semakin meningkatkan volume kegiatan ekonomi masyarakat adalah semakin bertambahnya persoalan yang terkait dengan kelestarian alam dan lingkungan. Sebagaimana diketahui aspek alam dan lingkungan merupakan faktor penting dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Aktifitas ekonomi masyarakat yang berlebihan tersebut seringkali menimbulkan eksternalitas negatif yang dapat merugikan fihak/negara lain dalam konteks pembangunan regional. Persoalan muncul manakala efek negatif dari aktifitas ekonomi yang dilakukan oleh individu tidak diantisipasi secara ekonomis besarnya kerugian yang harus ditanggung oleh individu yang lain.
Sebagai contoh dalam kasus lingkungan tersebut adalah adanya kebakaran hutan di suatu negara akan memberikan dampak negatif terhadap kualitas lingkunga di negara yang berdekatan. Penduduk di negara tersebut akan merasakan dampak eksternal berupa udara yang kotor, suhu udara panas dan jarak pandang menjadi terbatas. Akibatnya secara akumulatif, kebakaran hutan yang terjadi di negara lain akan menyebabkan biaya eksternal (external cost) bagi penduduk negara lain. Biaya eksternal ini digunakan untuk mengatasi dampak-dampak negatif dari peristiwa kebakaran hutan tersebut.
Dimensi Teori Eksternalitas
Berbagai pendapat mengemukakan teorinya tentang pengertian eksternalitas. Pendapat oleh Rosen (1988) menyatakan bahwa eksternalitas terjadi ketika aktivitas suatu satu kesatuan mempengaruhi kesejahteraan kesatuan yang lain yang terjadi diluar mekanisme pasar (non market mechanism). Tidak seperti pengaruh yang ditransmisikan melalui mekanisme harga pasar, eksternalitas dapat mempengaruhi efisiensi ekonomi. Dalam hal ini eksternalitas merupakan konsekuensi dari ktidakmampuan seseorang untuk membuat suatu property right.
Pendapat lain oleh Cullis dan Jones (1992) menyatakan bahwa eksternalitas terjadi ketika utilitas seorang individu tidak hanya bergantung pada barang dan jasa yang dikonsumsi oleh individu yang bersangkutan, akan tetapi juga dipengaruhi oleh aktivitas individu yang lain. Sehingga misalnya fungsi utilitas individu A dipengaruhi oleh jumlah barang dan jasa yang dikonsumsi oleh individu A ( x1, x2, x3, ……xn), dan juga dipengaruhi oleh aktivitas individu B yakni y1, maka fungsi utilitas A menjadi ; UA = UA(x1, x2, x3, ….xn, Y1).
Hyman (1999) berkenaan dengan eksternalitas menyatakan bahwa eksternalits merupakan biaya atau manfaat dari transaksi pasar yang tidak direfleksikan dalam harga. Ketika terjadi eksternalitas, maka fihak ketiga selain pembeli dan penjual suatu barang dipengaruhi oleh produksi dan konsumsinya. Biaya atau manfaat dari fihak ketiga tersebut tidak dipertimbangkan baik oleh pembeli maupun penjual suatu barang yang berproduksi atau yang menggunakan produk sehingga menghasilkan eksternalitas. Lebih jauh Hyman menyatakan bahwa harga pasar yang terjadi tidak secara akurat menggambarkan baik marginal social cost (MSC) maupun marginal socila benefit (MSB).
Meade (Corner dan Sandler, 1993) mengartikan eksternalitas ekonomi (disekonomi) sebagai suatu peristiwa yang memberi keuntungan cukup besar (memberikan kerugian cukup besar) pada beberapa orang/ orang yang tidak ikut secara penuh dalm pengambilan keputusan. Dalam pendapat Meade tersebut tidak secara spesifik mengenai kerangka institusi dalam kaitannya dengan interaksi sosial yang terjadi. Oleh karena itu Arrow (Corner dan Sandler, 1993) mengartikan eksternalitas dalam suatu kerangka institusi yang lebih khsus, yakni pasar kompetetif.
Fisher (1996) mengatakan bahwa eksternalitas terjadi bila satu aktivitas pelaku ekonomi (baik produksi maupun konsumsi) mempengaruhi kesejahteraan pelaku ekonomi lain dan peristiwa yang ada terjadi di luar mekanisme pasar. Sehingga ketika terjadi eksternalitas, maka private choices oleh konsumen dan produsen dalam private markets umumnya tidak menghasilkan sesuatu yang secara ekonomi efisien.
Berdasarkan pada pemahaman di atas dapat dijelaskan bahwa dalam perpektif teoritis, eksternalitas terjadi karena adanya perbedaan antara marginal social dan private cost suatu barang. Dalam kasus kerusakan lingkungan di atas menimbulkan negative externality karena tidak adanya unsur biaya tambahan dalam bentuk social cost yang masuk dalam komponen harga barang akhir. Oleh karena itu diperlukan governemnt intervention dalam bentuk penetapan pajak atau subsidi guna mengkoreksi dampak-dampak dari eksternalitas (Verhoef, 1999;Verhoef dan Nijkamp,2000).
Implikasi dari pengertian eksternalitas tersebut membawa dua implikasi penting, yakni : pertama, eksternalitas terjadi bila kegiatan seorang agent mempengaruhi kepuasan agent lain, tanpa merefleksikan efek pengaruh tersebut ke dalam price signal (Mishan,1971); dan kedua, necessary conditions untuk situasi social optimum (pareto optimality conditions) dilanggar (Mas-Colell, et al,1995). Adapun ciri – ciri dari eksternalitas secara eksplisit dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Eksternalitas dapat dihasilkan baik oleh produsen maupun oleh konsumen
b. Peristiwa yang terjadi di luar mekanisme harga pasar
c. Terdapat suatu hubungan timbal balik daalm aspek eksternalitas
d. Eksternalitas dapat bersifat positif maupun negatif
e. Peristiwa yang terjadi tidak ada hubungan antara satu fihak dengan fihak yang lain (interdepedency in action)
f. Peristiwa yang terjadi baik secara individu maupun kelembagaan.
Eksternalitas dalam kenyataannya memiliki dua macam bentuk, yakni eksternalitas negatif dan eksternalitas positif Eksternalitas negatif (biaya eksternal) adalah biaya terhadap fihak ketiga selain pembeli dan penjual pada suatu macam barang yang tidak direfleksikan dalam harga pasar. Ketika terjadi eksternalitas yang negatif, harga barang atau jasa tidak menggambarkan biaya sosial tambahan (marginal social cost) secara sempurna pada sumber daya yang dialokasikan dalam produksi. Baik pembeli maupun penjual barang tidak memperhatikan biaya- biaya ini pada fihak ketiga.
Sedangkan Eksternalitas positif adalah keuntungan terhadap fihak ketiga selain penjual atau pembeli barang atau jasa yang tidak direfleksikan dalam harga. Ketika terjadi eksternalitas positif, maka harga tidak sama dengan keuntungan sosial tambahan (marginal social benefit) dari barang dan jasa yang ada. Contoh dari eksternalitas positif ini adalah dengan adanya suntikan antibodi terhadap suatu penyakit, maka suntikan tersebut selain bermanfaat bagi orang yang bersangkutan juga bermanfaat bagi orang lain yakni tidak tertular penyakit.
Dari uraian mengenai eksternalitas di atas sebenarnya sudah dapat diketahui mengapa eksternalitas dapat menyebabkan inefisiensi/kegagalan pasar. Hal ini karena pada eksternalitas akan menimbulkan masalah yakni bila produsen maupun konsumen menyebabkan pengaruh eksternal (external effects), yakni bila aktivitas produsen maupun konsumen menyebabkan biaya atau manfaat pada orang lain (fihak ketiga). Masalah ini akan muncul karena biaya ataupun manfaat eksternal tersebut tidak dimasukkan dalam perhitungan oleh konsumen maupun produsen dalam aktivitasnya. Sehingga yang terjadi adalah baik konsumen maupun produsen dalam melakukan aktivitasnya akan bersikap underestimate. Bila pada eksternalitas positif, maka produsen maupun konsumen akan underestimate terhadap manfaat eksternal (external benefit) dari aktivitasnya, sehingga dimungkinkan produsen maupun konsumen tadi menghasilkan output dengan jumlah yang lebih sedikit dari kondisi output efisien. Padahal kalau output yang dihasilkan lebih banyak (tingkat efisien), maka orang lain akan dapat menikmatinya.
Sebaliknya bila terjadi eksternalitas negatif, maka produsen maupun konsumen akan bersikap underestimate terhadap biaya eksternal (external cost) dari aktivitasnya. Sehingga dimungkinkan produsen maupun konsumen menghasilkan output dengan kuantitas yang lebih besar dari kondisi output efisien. Padahal kalau output tersebut dihasilkan lebih sedikit (tingkat efisien), maka kerugian yang diderita orang lain dapat berkurang.
Berbagai upaya perlu dilakukan guna mengatasi masalah eksternalitas ini. Upaya-upaya pemerintah ini merupakan suatu usaha untuk menginternalisasikan eksternalitas, sehingga fihak ketiga dapat merasakan manfaat dari aktifitas pelaku ekonomi yang lain. Dalam hal ini pemerintah perlu mengadakan intervensi dan membuat suatu insentiv sehingga pilihan private bagi produsen maupun konsumen akan mencapai efisien. Bila terjadi biaya eksternal (external cost), maka pemerintah dapat mengenakan pajak sebesar biaya eksternal tambahan (marginal external cost=MEC) terhadap fihak yang menimbulkan eksternalitas (negative externality). Pajak ini akan mendorong baik bagi konsumen maupun produsen (fihak yang menimbulkan eksternalitas) untuk memasukkan biaya- biaya eksternal yang ada ke dalam suatu keputusan ekonomi. Dengan kata lain pelaku eksternalitas membayar sejumlah biaya sebesar biaya eksternal tambahan (MEC) per unit output yang terjual, sehingga Tx=MEC.
Upaya internalisasi eksternalitas dapat juga dilakukan dengan mengenakan subsidi. Pengenaan subsidi ini dapat dilakukan pemerintah ketika eksternalitas yang terjadi menimbulkan manfaat eksternal (external benefit=positive externality). Bila konsumen maupun produsen terlalu underestimate benefit dengan tidak mempertimbangkan manfaat tersebut pada orang lain, maka dengan subsidi akan dapat mengurangi private cost dan mendorong peningkatan dalam konsumsi pada tingkat yang efisien.
Bila sebab utama terjadinya eksternalitas adalah tidak adanya property right, maka cara mengatasi eksternalitas adalah dengan membuat suatu property right bagi fihak- fihak yang berkepentingan terhadap suatu sumber daya. Bila solusinya seperti ini maka tidak perlu lagi ada intervensi pemerintah (internalization of externality). Hal inilah yang dimaksud dengan Coase Theorema. Secara lebih rinci Coase Theorema ini menyatakan bahwa pemerintah dengan membuat suatu right untuk menggunakan suatu sumber daya, maka dapat menginternalisasikan eksternalitas ketika biaya transaksi adalah nol. Bila hal ini dicapai maka masing-masing fihak dalam aktivitas yang ada akan dapat melakukan pertukaran dengan bebas terhadap property right yang ada dengan pembayaran secara tunai, sehingga tingkat efisiensi dalam penggunaan sumber daya dapat dicapai.

Model Pertumbuhan Ekonomi Endogen
Teori pertumbuhan endogen yang dipelopori oleh Romer (1986) dan Lucas (1988) merupakan awal kebangkitan dari pemahaman baru mengenai faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Hal ini seiring dengan perkembangan dunia yang ditandai oleh perkembangan tehnologi modern yang digunakan dalam proses produksi. Sehingga permasalahan dalam pertumbuhan ekonomi tidak bisa dijelaskan secara baik oleh teori Neoklasik, seperti penjelasan mengenai decreasing return to capital, persaingan sempurna dan eksogenitas tehnologi dalam model pertumbuhan ekonomi.
Teori Pertumbuhan endogen merupakan suatu teori pertumbuhan yang menjelaskan bahwa pertumbuhan dalam jangka panjang ditentukan dari dalam model dari pada oleh beberapa varaibel pertumbuhan yang dianggap eksogen (Romer, 1994:3 ; Barro dan Martin,1999:38). Teori pertumbuhan endogen muncul sebagai kritik terhadap teori pertumbuhan Neoklasik mengenai diminishing marginal productivity of capital dan konvergenitas pendapatan di berbagai negara.
Romer (1986) mengembangkan model pertumbuhan endogen sebagai akibat dari adanya knowledge externality. Suatu perusahaan dapat lebih prdoduktif dai perusahaan lain karena perusahaan tersebut mempunyai rata-rata stock konowledge yang lebih tinggi dari pada perusahaan lainnya. Secara matematis model pertumbuhan Romer tersebut adalah :
yit=Akitα Kt1-α, 0< α<1
dimana k merupakan knowledge capital, K merupakan keuntungan dari rata-rata stock of knowledge capital dalam perekonomian dan y merupakan tingkat produksi output.
Berdasarkan model tersebut dapat dijelaskan bahwa tingkat output perusahaan akan sangat dipengaruhi oleh faktor knowledge capital. Faktor produksi ini dalam implementasinya dapat berkembang menjadi faktor produksi perusahaan lain melalui mekanisme learning by doing atau spillovers. Secara agregat disinilah sebenarnya letak keterkaitan antar pertumbuhan ekonomi diberbagai negara. Selain itu pula dalam model tersebut, Romer juga ingin menunjukkan bahwa dibawah kondisi tertentu, constan return to economy –wide knowledge, dapat menyebabkan pertumbuhan secara endogen. Dampak ekternalnya adalah adanya kritik terhadap pertumbuhan jangka panjang dengan diminishing return to private knowledge capital.
Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan dapat disebut berkelanjutan apabila memenuhi kriteria ekonomis, bermanfaat secara sosial, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Konsep pembangunan berkelanjutan terus mengalami perubahan sejak diperkenalkan pada tahun 1970. Pada tahun tujuh puluhan konsep pembangunan berkelanjutan didominasi oleh dimensi ekonomi yang dipicu oleh adanya krisis minyak bumi pada tahun 1973 dan tahun 1979. Harga minyak dunia melambung tinggi yang mengakibatkan resesi di negara-negara maju khususnya di negara pengimpor minyak. Seiring dengan semakin normalnya pasokan minyak dunia, dimensi lingkungan mulai mendapat perhatian pada tahun delapan puluhan. Earth Summit di Rio de Jeneiro pada tahun 1992 merupakan titik tolak dipertimbangkannya dimensi sosial dalam pembangunan berkelanjutan (Teri, 2002). Salah satu hasil penting dalam konferensi ini adalah pembentukan komisi pembangunan berkelanjutan (CSD-Commission on Sustainable Development). Komisi ini telah menghasilkan kesepakatan untuk mengimplementasikan konsep pembangunan berkelanjutan seperti tertuang dalam Agenda 21. Kesetaraan akses akan sumber daya bagi semua lapisan sosial dan memberantas kemiskinan juga menjadi agenda penting dalam konferensi ini.
Pembentukan komisi pembangunan berkelanjutan merupakan faktor penting dalam proses pembangunan suatu negara. terlebih bagi negara sedang berkembang, komisi tersebut diharapkan mampu memberikan bantuan baik secara konseptual maupun secara implementatif dalam proses pembangunannya. Tinjauan secara empiris menunjukkan bahwa kondisi sumber daya alam di negara sedang berkembang sangat melimpah. Akan tetapi karena pengelolaan terhadap sumber daya alam dan lingkungan yang tidak diarahkan pada aspek sustainabilitas, maka kemanfaatannya terhadap pencapaian kesejahteraan hidup masyarakat tidak optimal.
Secara konseptual pembangunan berkelanjutan (sustainable development) memiliki beberapa pengertian. Menurut Ahossane (2001) pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai ”meets the needs of the present without compromising the capacity to meet the needs of future generations”. Berdasarkan pada pengertian tersebut dalam pembangunan berkelanjutan terdapat beberapa komponen penting yang harus dipenuhi, yakni ;
a. Integrasi lingkungan dalam proses pembangunan ekonomi.
b. Pemerataan.
c. Distribusi terhadap pengaruh kekuatan dan ekonomi.
d. Berorientasi pada masa depan.
e. Kegiatan antisipasi harus tersedia lebih dulu dari pada kegiatan reaksi.
Lebih jauh Ahossane (2001) mengatakan bahwa pembangunan berkelanjutan memiliki implikasi terhadap pengelolaan kegiatan ekonomi suatu negara. Hal ini secara aktual membutuhkan beberapa persyaratan, yakni ;
a. Meninjau kembali pengukuran terhadap pendapatan nasional riil yang hanya berdasarkan pada ukuran yang bersifat tradisional.
b. Mempertimbangkan terhadap nilai ekonomi dari aspek lingkungan yang berhubungan dengan barang dan jasa dalam menaksir proyek dan kebijakan.
c. Bahan-bahan perlengkapan terhadap skala harga kepuasan dari barang, jasa dan bahan-bahan produksi untuk dimasukkan dalam perhitungan biaya dan keuntungan.
d. Pemeliharaan terhadap nilai ekonomi dari ketersediaan modal global dan ketersediaan sumber daya alam global.
Menurut Goodland (1995) pengertian pembangunan berkelanjutan dapat dibedakan menjadi empat, yakni kelestarian lingkungan (environmental sustainability), keberlangsungan ekonomi (economic sustainability), kelestarian sosial (social sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) itu sendiri. Dalam hal ini pengertian pembangunan berkelanjutan merupakan integrasi dari tiga aspek, yakni : kelestarian sosial, kelestarian lingkungan dan keberlangsungan ekonomi.
Pengertian lain oleh Pezzi (Lange dan Wright, 2004) tentang pembangunan berkelanjutan mensyaratkan adanya kontinuitas dalam peningkatan pendapatan perkapita. Menurutnya makna berkelanjutan adalah bila pembangunan ekonomi suatu negara tidak menyebabkan penurunan dalam tingkat pendapatan perkapita setiap waktu. Secara umum menurut Brundtland Report (World Comission on Economic Development, 1987) pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat memenuhi memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat pada saat sekarang tanpa harus mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk mencukupi kebutuhannya, dengan berdasarkan pada prinsip pemerataan.
Sedangkan menurut Heal (1998) konsep keberlanjutan dalam proses pembangunan mengandung dua dimensi penting. Dua dimensi tersebut adalah dimensi waktu dan dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumber daya alam dan lingkungan (Fauzi,2004:231). Sedangkan menurut Pezzy (1992) aspek keberlanjutan dalam pembangunan memiliki pengertian statik dan pengertian dinamik. Keberlanjutan statik diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya alam terbarukan dengan laju tehnologi yang konstan. Sementara keberlanjutan dinamik diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya yang tidak terbarukan dengan laju tehnologi yang terus berubah.
Dalam pengertian pembangunan berkelanjutan terdapat pula beberapa aspek penting di dalamnya. Daly (1990) mencermati paling tidak terdapat tiga aspek penting tentang pengertian dari pembangunan berkelanjutan, yakni ;
a. Untuk sumber daya alam yang terbarukan, laju pemenuhan harus sama dengan laju generasi (produksi lestari).
b. Untuk masalah lingkungan, laju pembuangan (limbah) harus setara dengan kapasitas asimilasi lingkungan.
c. Sumber energi yang tidak terbarukan harus dieksploitasi secara quasi-sustainable, yakni harus mengurangi laju deplesi dengan cara menciptakan energi substitusi.
Berdasarkan pada beberapa pengertian tentang konsep pembangunan berkelanjutan seperti di atas, menurut Ahossane (2001) secara ekologi pembangunan industri yang berkelanjutan (ecologically sustainable industrial development) merupakan kondisi utama dari konsep pembangunan berkelanjutan. Menurut Ahossane kegiatan industri merupakan pendorong utama dari pembangunan ekonomi dan pada saat yang sama kegiatan industri menghasilkan kurang lebih sepertiga dari emisi gas rumah kaca dan bagian terpenting dari sampah yang berbahaya.
Konsep ekologi pembangunan industri yang berkelanjutan berdasarkan pada dua prinsip utama (Ahossane,2001), yakni :
a. Simpanan sumber daya.
b. Pengurangan terhadap emisi sumber daya.
Guna mencapai keadaan yang memungkinkan keberlanjutan, maka strategi World Commision on Environment and Development (WCED) secara garis besar memuat tiga aspek penting, yakni (Tjiptoherijanto, 2005) : aspek pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, aspek pembangunan sosial yang berkelanjutan dan aspek pengelolaan kualitas lingkungan hidup yang berkelanjutan. Dalam ketiga aspek tersebut, peran penduduk dalam pembangunan sangat penting. Penduduk dapat berperan baik sebagai subyek maupun obyek pembangunan. Peran penduduk tersebut secara diagramatis dapat dilihat pada gambar berikut :
Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan


Penduduk


Pembangunan sosial yang berkelanjutan
Pembangunan lingkungan hidup yang berkelanjutan


Gambar
KERANGKA KONSEPTUAL PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN



Sumber : Tjipteherijanto (2005)
Pada gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa secara konseptual pembangunan berkelanjutan meliputi tiga aspek, yakni aspek pertumbuhan ekonomi, sosial dan aspek lingkungan hidup. Dalam ketiga aspek tersebut penduduk dapat berperan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menjaga kestabilan sosial dan melestarikan lingkungan hidup.
Selain itu pula pada gambar tersebut juga menjelaskan bahwa dalam kenyataannya pertumbuhan ekonomi suatu negara memiliki batas (limit to growth). Apabila batas dari pertumbuhan ekonomi tersebut terlampaui, maka yang akan terjadi adalah pemusnahan atas hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai sebelumnya. Oleh karena itu untuk mencapai pembangunan berkelanjutan diperlukan pengelolaan sedemikian rupa agar keterkaitan antara penduduk, sumber daya, lingkungan dan pembangunan tercipta dalam keseimbangan yang dinamis (Tjiptoherijanto, 2005).
Peranan Kelestarian Lingkungan dalam Pembangunan Berkelanjutan
Proses pembangunan suatu negara pada akhirnya ditujukan untuk mencapai kesejahteraan hidup masyarakatnya. Pencapaian kesejahteraan hidup ini secara ekonomi dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Ketersediaan kebutuhan barang dan jasa dalam kehidupan masyarakat dan terciptanya stabilitas perekonomian dalam negeri merupakan need necessary bagi proses pencapaian kesejahteraan hidup masyarakat.
Dalam implementasinya proses pembangunan suatu negara membutuhkan serangkaian faktor produksi yang dapat digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa yang diinginkan. Barang dan jasa yang dihasilkan dalam perekonomian tersebut secara akumulatif dalam suatu periode waktu tertentu akan membentuk Produk Domestik Bruto (PDB). Perkembangan PDB dari satu periode ke periode yang lain akan menunjukkan pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian dalam kenyataannya faktor sumber daya alam (natural resources) memegang peran penting dalam proses pembangunan suatu negara. Keberadaan sumber daya alam dengan berbagai bentuknya memberikan kontribusi yang sangat penting dalam menunjang pencapaian pertumbuhan ekonomi. Berkaitan dengan ketersediaan sumber daya alam dalam proses pembangunan, maka Bergh dan Nijkamp (1994) menguraikan secara rinci aliran sumber daya alam dalam perekonomian seperti pada Gambar 2.9 berikut :
Penggalian Sumber daya alam
dapat diperbarui
Penggalian Sumber daya alam
tidak dapat diperbarui
Suplai sumber daya alam

Produksi barang akhir
Produksi
sampah
Investasi barang-barang produksi
Konsumsi individu dan swasta
Modal
produktif
Pengelolaan
sampah



Penyimpanan sampah yang tidak terpakai
Pengolahan
sampah
Depresiasi modal
Pengolahan sumber daya
Sisa sampah


Gambar
Alur Sumber Daya alam dalam Perekonomian
Sumber : Bergh dan Nijkamp (1994)
Berdasarkan pada Gambar 2.10 tersebut dapat dijelaskan bahwa alur sumber daya alam dalam kegiatan ekonomi dapat dibagi menjadi 6 sektor, yakni kegiatan produksi barang akhir, kegiatan investasi barang, kegiatan pengelolaan sampah, kegiatan pengolahan kembali, penggalian sumber daya alam yang dapat diperbarui dan tidak dapat diperbarui. Baik sumber daya alam yang dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui pada dasarnya merupakan penyediaan bahan bagi berlangsungnya kegiatan ekonomi yang lain. Guna menjamin adanya sustainable development, maka perlu diperhatikan dampak negatif dari kegiatan eksploitasi terhadap keberadaan sumber daya alam dalam pembangunan. Selain faktor adanya sisa sampah yang dihasilkan dari kegiatan penggunaan sumber daya yang ada, eksploitasi yang berlebihan justru dapat merusak keseimbangan alam dan lingkungan itu sendiri.
Berdasarkan pada gambar di atas juga dapat dijelaskan bahwa suplai terhadap sumber daya alam dapat bersumber dari sumber daya alam yang dapat diperbarui dan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Suplai sumber daya alam dalam proses pembangunan dapat digunakan baik sebagai modal pembangunan maupun sebagai bahan konsumsi individu dan swasta. Dalam kegiatan pembangunan yang berlangsung terdapat sampah yang merupakan sisa bahan dari kegiatan proses produksi dalam kegiatan ekonomi yang berlangsung.
Guna menjaga kelestarian lingkungan hidup yang dapat menopang pembangunan dalam jangka panjang, dibutuhkan peran pemerintah. Peran pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam yang berpokok pada kelestarian lingkungan hidup mengandung tiga dimensi penting, yakni (Djoyohadikusumo, 1994:314-315) :
a. Meningkatkan efisiensi pada penggunaan sarana produksi yang mengurangi permintaan terhadap berbagai jenis sumber alam dalam proses produksi.
b. Mendorong dan memberi insentif terhadap penerapan tehnologi yang mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
c. Melakukan investasi (tambahan) dalam hal pemeliharaan dan pengamanan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Lebih jauh lagi dalam khazanah ilmu ekonomi, lingkungan digambarkan sebagai suatu composite assets yang menyediakan berbagai macam jasa. Sebagai suatu aset khusus, lingkungan menyediakan suatu sistem yang dapat menopang kehidupan umat manusia. Secara lebih khusus keberadaan lingkungan dapat menyediakan 2 hal bagi perekonomian, yakni raw materials dan energi. Raw materials dalam prosesnya dapat ditransformasikan menjadi barang-barang konsumen melalui proses produksi. Sedangkan energi dapat dijadikan sebagai bahan bakar bagi keperluan transformasi yang terjadi. Raw material dan energi pada akhirnya akan kembali lagi ke lingkungan dalam bentuk waste product. Secara diagramatis hubungan antara sistem ekonomi dan lingkungan dapat dilihat pada gambar berikut :
Lingkungan



Energi Perusahaan

Polusi Udara

Udara Sampah Padat
Output
Input


Perekonomian

Air
Rumah Tangga
(Barang dan Jasa)
Sampah Panas

Limbah
Amenities Polusi Air



Bahan Mentah

Gambar
Hubungan Antara Sistem Perekonomian dengan Lingkungan
Sumber : Tietenberg, (2003:17)
Pada gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa sistem perekonomian dalam menghasilkan barang dan jasa (output) sangat ditopang oleh keberadaan lingkungan. Keberadaan lingkungan dalam hal ini dapat dilihat dari perannya dalam menyediakan berbagai sumber daya seperti ; energi, air, udara dan amenities. Sumber daya yang dimaksud akan diproses oleh produsen. Proses produksi barang dan jasa oleh produsen dapat menyebabkan munculnya berbagai polusi sebagai sisa proses produksinya.

Kesimpulan
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan salah satu isu penting dalam proses pembangunan dewasa ini. Segenap faktor produksi (resources) yang dimiliki negara akan dimanfaatkan seoptimal mungkin dalam pencapaian target pembangunannya. Dalam kondisi eksplorasi sumber daya tersebut peranan kelestarian alam dan lingkungan menjadi sangat penting. Tindakan ekonomi yang berlebihan justru akan menimbulkan eksternalitas negatif yang dapat merugikan pembangunan itu sendiri. Dalam konteks ini teori pertumbuhan ekonomi endogen (endegenous growth model) berusaha untuk menjelaskan arah dan tujuan pembangunan dengan mendasarkan pada kualitas dari sumber daya manusia (SDM). Dalam kaitannya dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan sudah semestinya kualitas SDM yang ada dapat diarahkan pada pemahaman lingkungan yang arif dan bijaksana sehingga sumber daya (natural resources) yang ada dapat terperlihara. Sebagai akhir dari diskusi ini perlu digarisbawahi lagi bahwa pengertian pembangunan berkelanjutan dapat dibedakan menjadi empat, yakni kelestarian lingkungan (environmental sustainability), keberlangsungan ekonomi (economic sustainability), kelestarian sosial (social sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) itu sendiri. Dalam hal ini pengertian pembangunan berkelanjutan merupakan integrasi dari tiga aspek, yakni : kelestarian sosial, kelestarian lingkungan dan keberlangsungan ekonomi.

Daftar Pustaka

Ahossane, Kadio, 2001. Industrial Environment Dimension in the Process of Sustainable Development in Cote d’Ivoire, UNIDO Preparatory Activities for Rio+10, World Summit on Sustainable Development (WSSD), Oktober :1-33

Bergh, J.C.J.M Von Den dan P. Nijkamp., 1994.Dynamic Macro Modelling and Materials Balance :Economic Environmental Integration for Sustainable Development, Economic Modelling, Vol.11:283-307


Corners, Richard dan Todd Sandler, 1993.The Theory of Externalities, Public Goods, and Club Goods, Cambridge Universitas Press

Cullis, J.G. dan Jones, P.R, 1992.Public Finance and Public Choice : Analythical Perspectives, McGraw-Hill Book Company, New York

Daly, H.E.1990. Toward Some Operasional Principles of Sustainable Development, Ecological Economics,2(1):1-6)

Djoyohadikusumo, S, 1994.Perkembangan Pemikiran Ekonomi : Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan, Jakarta, LP3ES

Fauzi, Akhmad, 2004.Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan :Teori dan Aplikasi, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama

Fisher, R.C, 1996.State and Local Public Finance, Irwin, New York

Goodland, R., 1995, The Concept of Environmental Sustainability, Annual Review of Ecological System, 26:1-24

Heal, G, 1998. Valuing the Future:Economic Theory and Sustainability, New York, Columbia University Press

Hyman, D.N, 1999.Public Finance : A Contemporary Application of Theory to Policy, sixth edition, The Drisden Press, New York

Klenow, Peter J, 2004.Externalities and Growth, dalam Phillipe Aghion dan Steven Durlauf, Handbook of Economic Growth, North Holland Press, Amsterdam

Lange, Glenn-Marie dan Matthew Wright., 2004.Sutainable Development in Mineral Economies :The Example of Botswana, Environment and Development Economic, Vol.9 (4), Agustus:485-505

Lucas, Robert.E, 1988.”On the Mechanics of Economic Development”,Journal of Monteray Economics, 12:3-42


Mas-Colell, A., Whinston M.D. dan J.R Green,1995.Microeconomic Theory,Oxford University Press,Oxford

Meier, Gerald M. 1995. Leading Issues in Economic Development, Sixth, Oxford University Press, Oxfrod.

Mishan,E.J,1971.”The Post-War Literaure on Externalities:An Interpretive Essay”, Journal of Economic Literature, 9:1-28

Pezzy, Johm.1992.Sustainability:An Interdisciplinary Guide, Environmental Values, 1(4) :321-362

Rivera-Batiz, Luis A dan Paul M Romer, 1991.”Economic Integration and Endogeneos Growth”, Quartely Journal of Economics Vol.CVI, May:530555

Romer, Paul M. 1986.”Increasing Return and Long Growth”, Journal of Political Economy, 94, Oktober : 1002-1037.

Rosen, H.S, 1988.Public Finance, second edition, Toppan Co.Ltd, Washington

Tietenberg, Tom,, 2003.Environmental and Natural Resources Economics. Sixth Edition, International Edition, New York, Addison Wesley

Tjiptoherijanto, Prijono, 2005.Pembangunan Berkelanjutan, Makalah disampaikan sebagai bahan awal dari FGD-ISE Bidang Pembangunan Berkelanjutan sebagai tanggapan terhadap arahan Presiden RI kepada ISEI, Jakarta, Mei :1-11

Todaro, Michael P., 2000. Economics Development, Seventh Edition, New York:Pearson Education Limited

Verhoef,E.T,1999.Externalities, dalam Jeroen C.J.M Van Den Bergh (ed), Handbook of Environmental Economics and Management,24:101-118

Verhoef,E.T dan P.Nijkamp,2000.”Spatial Dimensions of Environmental Policies for Transboundary Externalities;A Spatial Price Equilibrium Approach”, Environment and Planning, 32A:2033-2055.

Kausalitas Antara Nilai Tukar Rp/US$ dengan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Kausalitas Antara Nilai Tukar Rp/US$

dengan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia


Oleh

Imam Mukhlis




Abstract



This research aims to analize causality between exchange rate (Rp/US$) and economic growth in Indonesian economy for 1975-2004. Based on Granger Causality Test, this result has shown that there is undirectional causality from economic growth to exchange rate. This result shown that monetary policy transmission with interest rate channel not effective to affect the national output.



Keywords : Granger Causality Test, monetary policy transmission,

Exchange Rate System




Liberalisasi dan globalisasi perekonomian dunia telah merubah wajah perekonomian dunia menjadi semakin terbuka. Arus keluar masuk barang, jasa dan modal menjadi semakin mudah menembus batas-batas teritorial suatu negara. Konsep country without border menjadi menguat dalam konteks perekonomian dunia seiring dengan keterbukaan perekonomian domestik terhadap penetrasi dari luar negeri.

Dalam konteks ini, integrasi perekonomian suatu negara ke dalam perekonomian global menjadi “pilihan”, dimana mau atau tidak mau suatu negara memiliki keharusan untuk masuk dalam pasar bebas. Sebagai konsekuensinya, setiap negara akan memiliki ketergantungan satu dengan yang lainnya baik menyangkut aspek perdagangan barang dan jasa secara internasional dan integrasi pasar keuangan di berbagai negara (Abel dan Bernanke,2004:468). Konsekuensi dari ketertutupan negara terhadap penetrasi dari luar negeri membawa konsekuensi kepada “pengucilan” perekonomian domestik terhadap perekonomian luar negeri.

Mencermati benang merah yang terjadi dalam integrasi perekonomian global tersebut, maka dinamika yang terjadi di pasar keuangan sangat cepat dan volatilitasnya sangat tinggi. Depresiasi atau apresiasi nilai tukar mata uang di suatu negara akan cepat menjalar (efek domino) ke perekonomian negara lain. Pengangguran, inflasi, output (PDB), dan tingkat bunga dalam negeri akan bergerak melakukan penyesuaian sebagai respon dari efek domino yang terjadi.

Pergerakan nilai tukar mata uang merupakan konsekuensi dari adanya interaksi yang terjadi diantara pelaku ekonomi di berbagai negara dalam melakukan transaksi kegiatan ekonominya. Interakasi ini akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kegiatan ekonomi di berbagai negara. Peningkatan arus barang, jasa dan modal antar negara pada akhirnya dapat mempengaruhi pergerakan nilai tukar mata uang antar negara. Ketidakstabilan dalam pergerakan nilai tukar mata uang dapat berakibat pada ketidakstabilan makroekonomi suatu negara. Oleh karena itu guna menjaga kestabilan makroekonomi suatu negara, maka kebijakan moneter yang mengarah pada kestabilan nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing menjadi sangat diperlukan.

Berbagai studi telah dilakukan guna menganalisis hubungan antara nilai tukar dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Isu utama dalam penelitian tentang hubungan nilai tukar mata uang dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat diklasifikasikan menjadi beberapa isu, yakni : pemisahan dalam jangka waktu (short run atau long run); terdapatnya potential asymmetris dalam dampak fluktuasi nilai tukar mata uang antara apresiasi dan depresiasi; pergerakan nilai tukar mata uang dapat mempengaruhi inflasi dan variabel riil lainnya dan sebaliknya variabel-riil dalam makroekonomi dapat mempengaruhi pegerakan nilai tukar. Oleh karena itu arah hubungannya dapat bersifat dua arah (causality) dan volatilitas nilai tukar mata uang sangat sulit untuk ditentukan model linier atau model near linier (Amato, dkk, 2005:8).

Menurut Sarwono dan Warjiyo (1998:10) dalam perekonomian terbuka dengan flexible exchange rate system, gerakan nilai tukar dapat merubah harga relatif sehingga mempengaruhi perkembangan ekspor dan impor. Selanjutnya gerakan nilai tukar tersebut akan mempengaruhi permintaan aggregate, laju pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi. Debelle dan Galati (2005) dalam penelitiannya terhadap perekonomian US juga menyimpulkan bahwa perubahan dalam nilai tukar mata uang suatu negara akan menyebabkan perubahan dalam pertumbuhan outputnya. Sedangkan menurut Buissan dan L’Hotellerie-Fallois (2004) depresiasi nilai tukar tidak selalu membawa perluasan terhadap output perekonomian.

Upaya otoritas moneter (Bank Sentral) untuk menjaga kestabilan nilai tukar mata uang, akan sangat terkait dengan sistem nilai tukar yang dianut masing-masing negara. Bagi negara yang menganut sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate system), dibutuhkan intervensi mutlak dari bank sentral untuk menjaga agar nilai tukar mata uangnya tidak bergeser dari nilai tukar mata uang yang telah dipatok (pegged) sebelumnya. Sedangkan bagi negara yang menganut sistem nilai tukar mengambang (flesxible exchange rate system), maka peran bank sentral baru diperlukan apabila nilai tukar mata uangnya mengalami apresiasi dan depresiasi yang tajam.

Dalam perkembangannya seiring dengan liberalisasi dan globalisasi yang sedang terjadi pada saat ini, banyak negara manganut sistem nilai tukar mengambang. Sistem nilai tukar ini banyak diterapkan di berbagai negara, karena tidak dibutuhkan cadangan devisa yang cukup besar guna menjaga kestabilan nilai tukar mata uang suatu negara. Bank sentral baru intervensi di pasar valas apabila dijumpai apresiasi dan depresiasi yang terlalu tajam pada mata uangnya.

Tulisan ini berupaya untuk menganalisis hubungan kausal antara nilai tukar mata uang Rp/US$ dengan pertumbuhan ekonomi dalam perekonomin Indonesia selama tahun 1975-2004 dengan menggunakan causality model. Hal ini penting karena selama tahun 1960 hingga sekarang, otoritas moneter di Indonesia telah mengganti sistem nilai tukar sebanyak 5 kali. Perubahan dalam sistem nilai tukar tersebut secara langsung akan mempenagurhi kondisi perekonomian dalam negeri sebagai respon dari dinamika eksternal yang terjadi. Sehingga dapat diketahui dampak perubahan dalam sistem nilai tukar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Secara rinci perkembangan dalam sistem nilai tukar di Indonesia sebagai berikut :
Tabel : Sistem nilai Tukar di Indonesia Tahun 1960-sekarang

Periode

Sistem Nilai Tukar

1960-an

Multiple exchange system

Agustus 1971-November 1978

Nilai tukar tetap

November 1978-September 1992

Mengambang terkendali

September 1992-Agustus 1997

Managed floating dengan crawling band system

Agustus 1997-kini

Sistem mengambang bebas


Dalam hal ini perubahan dari satu sistem ke sistem lainnya didasarkan pada kebutuhan agar sistem nilai tukar sesuai dengan perekonomian yang mengalami perubahan seiring dengan perkembangan perekonomian yang semakin dinamis dan pesat (sebelum krisis Juli 1997).Perubahan sistem niali tukar sangat berpenagruh pada perilaku nilai tukar Rupiah, khususnya setelah sistem nilai tukar beralih kepada sistem nilai tukar baik mengambang maupun terkendali maupun mengambang bebas.

Menurut Amato, dkk. (2005:1) fluktuasi nilai tukar mata uang di pasar uang dunia sangat sulit untuk diprediksi. Oleh karena itu diperlukan berbagai model yang dapat menjelaskan fluktuasi nilai tukar, seperti model uncoverd interest parity (UIP), long term models of purchasing power parity (PPP), long run exchange rate equilibrium, short run exchange rate behaviour, traditional macroeconomic, general equilibrium dan model stockastic variant. Secara umum studi empiris tentang dampak perubahan dalam nilai tukar terhadap output perekonomian dapat dikelompokkan ke dalam 4 kategori, yaitu :single equation econometric methods, vector autoregressive (VAR) models, structural macroeconometric models dan DSGE models.

Metode

Penelitian ini mengembangkan temuan (Amato, dkk, 2005:8) dalam menjelaskan fenomena hubungan dua arah (causality) pergerakan nilai tukar mata uang antar negara dengan variabel makroekonomi dengan menggunakan pendekatan ekonometrik. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan kausal antara nilai tukar Rp/US$ dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, digunakan model granger causality test yang dikembangkan oleh Granger (1969). Dalam granger causality test hubungan kausal antara nilai tukar Rp/US$ dengan pertumbuhan ekonomi dapat dirumuskan ke dalam model persamaan sebagai berikut :

n n

  • LPDBt = Σ αi LKURSt-i + Σ βj LPDBt-j + μ1t …………………(1)

i=1 j=1

n n

  • LKURSt= Σ λi LKURSt-i + Σ δ j LPDBt-j + μ2t ………………….(2)

i=1 j=1

Berdasarkan pada model tersebut, maka kesimpulan dari arah hubungan akan memiliki keputusan :

a). Undirectional causality dari LKURS ke LPDB, bila koefisien α pada pesamaan (1) signifikan secara statistik dan koefisien dari δ pada persamaan (2) tidak signifikan secara statistik.

b). Undirectional causality dari LPDB ke LKURS, bila koefisien α pada pesamaan (1) tidak signifikan secara statistik dan koefisien dari δ pada persamaan (2) signifikan secara statistik.

c). Feedback atau bilateral causality antara LPDB dan LKURS, bila semua koefisien pada LPDB dan LKURS pada kedua persamaan di atas signifikan secara statistik.

d). Indepedence antara LPDB dan LKURS, bila semua koefisien pada LPDB dan LKURS pada kedua persamaan di atas tidak signifikan secara statistik.

Berdasarkan pada cakupan masalah seperti telah diungkapkan di atas, maka penelitian ini menggunakan data sekunder (time series) selama tahun 1975-2004. Data-data tersebut adalah nilia tukar Rp/US$ dan pertumbuhan ekonomi Indonesia (%). Data-data tersebut dapat diperoleh dari publikasi Bank Indonesia dan Asian Development Bank (ADB).

Hasil Penelitian

Perkembangan Nilai PDB dan Nilai Tukar Rp/US$ Indonesia

Perkembangan perekonomin nasional selama tahun 1970 an hingga tahun 2000 an senantiasa diwarnai oleh dinamika eksternal yang cukup kuat. Hal ini dapat difahami, karena proses pembangunan nasional selama ini tidak bisa terlepas dari kegiatan perdagangan internasional, khususnya menyangkut ekspor migas pada periode 1970-1980. Dalam perkembangannya devisa dari migas mengalami penurunan seiring dengan dinamika perkembangan yang terjadi. Akibatnya pemerintah harus mencari alternatif sumber penerimaan yang lain, khususnya untuk mengatasi daya saing non migas sebagai akibat dari dutch disease karena lonjakan harga minyak. Mata uang Rupiah (Rp) pun akhirnya didevaluasi secara tajam terhadap mata uang Amerika Serikat (US $) pada tahun 1978, 1983 dan 1986 (Soesastro,2004:5). Upaya yang lainnya adalah serangkaian kebijakan deregeluasi di sektor keuangan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam upaya untuk meningkatkan kinerja sektor keuangan dan moneter dalam pembangunan.

Dalam sistem nilai tukar yang berlaku di Indonesia, mengalami pergeseran dari multiple exchange system (1960-an) ke sistem nilai tukar mengambang bebas (floating/flexibel system). Pergeseran ini disebabkan oleh kondisi dimana keterbukaan perekonomian nasional terhadap interaksi dari perekonomian luar negeri semakin tidak dapat dibendung. Akibatnya penentuan kurs nilai tukar Rp/US$ secara tetap akan membawa konsekuensi pada ketersediaan cadangan devisa yang cukup besar untuk kebutuhan intervensi di pasar valas.

Perkembangan kurs nilai tukar mata Rp/US$ selama tahun 1975-2004 mengalami flukutasi. Hal ini karena selain sistem nilai tukar mengambang yang telah dianut juga karena semakin bebasnya arus barang, jasa dan modal keluar masuk perekonomian nasional. Perkembangan kurs mata uang Rp/US$ secara rinci dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2 :

Perkembangan Nilai PDB Indonesia



Berdasarkan pada tabel di atas dapat dijelaskan bahwa selama tahun 1975-2004 Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia atas dasar harga berlaku mengalami perkembangan yang meningkat. Pada tahun 1975 nilai PDB Indonesia sebesar Rp.12,643 Triliun, kemudian pada tahun 2004 meningkat menjadi Rp. 2.303,031 Triliun. Peningkatan PDB menunjukkan meningkatkan kegiatan ekonomi baik secara sektoral, regional maupun perdagangan internasional.

Seirng dengans emakin terbukanya perekonomian nasional terhadap perekonomian luar negeri, maka arus keluar masuk barang, jasa dan modal menjadi semakin mudah. Sebagai konsekeunsinya nilai tukar mata uang Rupiah (Rp) terhadap mata uang US (US$) menjadi mudah berfluktatif. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan kurs nilai tukar Rp/US$ selama tahun 1975-2004 sebagaimana gambar berikut :

Gambar 3 :

Perkembangan Nilai Tukar Rp/US$



Berdasarkan pada gambar di atas dapat dijelaskan bahwa sebelum tahun 1995 nilai tukar mata uang Rp/US$ relatif stabil dalam pergerakannya. Hal ini disebabkan oleh kebijakan moneter yang terkait dengan pengendalian stabilitas makroekonomi masih efektif dalam mempengaruhi besaran-besaran moneter sebagai respon terhadap dinamika eksternal yang terjadi.

Namun demikian dalam perkembangannya keterbukaan perekonomian nasioanl membawa konsekuensi pada semakin sulitnya otoritas moneter mengendalikan besaran-besaran moneter yang ada. Akibatnya kurs nilai tukar menjadi sangat rentan terhadap perubahan yang terjadi dalam perekonomian luar negeri. Akibatnya nilai tukar mata uang Rp/US$ menjadi sangat berfluktuatif. Setelah krisis melanda perekonomian nasional pada pertenghahan tahun 1997 hingga 2004 nilai tukar Rp/US$. Pada tahun 1997 nilai kurs Rp/US$ sebesar Rp.4650/US$, kemudian pada tahun 2001 nialai kurs menjadi Rp.10.400/US$ dan pada tahun 2004 nilai kurs menjadi Rp. 9.290/US$.

Implikasi dari fluktuasi nilai tukar Rp/US$ tersebut adalah adanya ketidakpastian mengenai gerakan nilai tukar Rp/US$ di masa datang. Dalam hal ini peranan ekspektasi pelaku pasar dan masyarakat akan menjadi lebih penting dalam mempengaruhi gerakan nilai tukar (Dornbusch,1976). Secara langsung fluktuasi nilai tukar tersebut akan mempengaruhi tingkat harga di dalam negeri karena banyaknya barang-barang impor (imported inflation). Harga relatif (real effective exchange rate) juga akan semakin berfluktuasi dan berpengaruh terhadap kinerja ekspor dan impor, dan karenanya mempunyai dampak yang smeakin perlu diperhitungkan terhadap permintaan aggregate. Laju pertumbuhan ekonomi juga dapat terpengaruh. Pendeknya fluktasi nilai tukar yang lebih tinggi akan mempengaruhi sasaran-sasaran laju inflasi, laju pertumbuhan dan keseimbangan neraca pembayaran yang hendak dicapai oleh kebijakan ekonomi makro (Sarwono dan Warjiyo, 1998:14).

Dalam sistem nilai tukar mengambang Bank Indonesia dapat lebih leluasa dalam melaksanakan kebijakan moneter dalam negeri karena tidak dituntut untuk melakukan sterilisasi atas dampak aliran dana masuk terhadap perkembangan uang beredar untuk mempertahankan suatu tingkat atau kisaran nilai tukar tertentu. Dengan demikian pengendalian moneter dapat lebih difokuskan pada pencapaian sasaran-sasaran di dalam negeri. Aliran dana masuk dari luar negeri akan meningkat dan menyebabkan nilai tukar Rp cenderung apresiasi. Permintaan domestik baik konsumsi maupun investasi akan menurun karena tingginya suku bunga dan menurunnya harga relatif. Laju pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih rendah. Laju inflasi juga akan menurun baik karena apresiasi nilai tukar maupun karena menurunnya permintaan domestik (Sarwono dan Warjiyo, 1998:14).

Dengan demikian kebijakan moneter dalam sistem nilai tukar Rupiah yang fleksibel memerlukan sensitivitas antara suku bunga domestik terhadap aliran modal internasional dan keeratan hubungan negatif antara nilai tukar Rupiah dengan suku bunga serta elastisitas yang tinggi antara perubahan nilai tukar Rupiah dengan penawaran ekspor dan permintaan impor. Selain itu,nilai tukar Rupiah yang fleksibel dan stabil juga harus tetap dijaga agar tidak memberikan tekanan pada harga-harga domestik.

Kausalitas antara Nilai Tukar Mata Uang Rp/US$ dengan Pertumbuhan Ekonomi

Berdasarkan pada hasil perhitungan dengan menggunakan progam Eviews 3 dapat dirangkum seperti pada tabel berikut ini :




Uji Kausalitas Granger

Pairwise Granger Causality Tests

Sample: 1975 2004

Lags: 2

Null Hypothesis:

Obs

F-Statistic

Probability

LKURS does not Granger Cause LPDB

28

3.16957

0.06085

LPDB does not Granger Cause LKURS

3.65305

0.04191


Dependent Variable: LPDB

Method: Least Squares

Date: 12/17/05 Time: 12:41

Sample(adjusted): 1976 2004

Included observations: 29 after adjusting endpoints

Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

LKURS(-1)

0.040119

0.078837

0.508887

0.6150

LPDB(-1)

0.989518

0.048936

20.22075

0.0000

R-squared

0.996158

Mean dependent var

12.28294

Adjusted R-squared

0.996016

S.D. dependent var

1.488612

S.E. of regression

0.093959

Akaike info criterion

-1.825443

Sum squared resid

0.238364

Schwarz criterion

-1.731147

Log likelihood

28.46893

Durbin-Watson stat

1.455979


Dependent Variable: LKURS

Method: Least Squares

Sample(adjusted): 1976 2004

Included observations: 29 after adjusting endpoints

Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

LKURS(-1)

0.684215

0.152706

4.480613

0.0001

LPDB(-1)

0.204652

0.094787

2.159068

0.0399

R-squared

0.969034

Mean dependent var

7.610325

Adjusted R-squared

0.967888

S.D. dependent var

1.015607

S.E. of regression

0.181996

Akaike info criterion

-0.503188

Sum squared resid

0.894312

Schwarz criterion

-0.408892

Log likelihood

9.296231

Durbin-Watson stat

1.704999


Berdasarkan pada hasil analisis di atas dapat dirangkum kembali hasil uji kausalitas granger antara nilai tukar Rp/US$ dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia selama thun 1975-2004 sebagai berikut ini :

Tabel : Koefisien Persamaan Regresi Granger Causality

Koefisien

Persamaan

Keterangan

Kesimpulan

Α

1

Tidak signifikan

Undirectional causality dari LPDB ke LKURS

Δ

2

Signifikan

Sumber : Hasil olah data, lampiran 3

Keterangan:

- Semua data stasioner pada derajat satau pada α=5% (lihat lampiran 2)

  • Pertumbuhan ekonomi diproksi dengan PDB

  • Data PDB dan nilai kurs adalah nilai nominal

  • Data bersumber dari Asian Development Bank Report

  • Semua data ditranslog


Pembahasan

Berdasarkan pada hasil di atas dapat dijelaskan bahwa hubungan kausal antara nilai tukar mata uang Rp/US$ dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama tahun 1975-2004 bersifat Undirectional causality dari LPDB ke LKURS. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini memiliki hubungan secara tidak langsung terhadap nilai tukar Rp/US$. Hasil temuan ini menunjukkan bahwa fluktuasi dalam nilai tukar Rp/US$ selama ini tidak memberikan efek yang cukup siginifikan terhadap kegiatan ekonomi nasional. Hal ini dapat dimengerti karena pertumbuhan ekonomi nasional dewasa ini lebih banyak didorong oleh pengeluaran pemerintah dan pengeluaran konsumsi masyarakat.

Apabila dikaitkan dengan jalur nilai tukar dalam mekanisme kebijakan moneter, maka pergerakan dalam nilai tukar dapat berpengaruh terhadap perekonomian khususnya perekonomian terbuka dengan sistem nilai tukar fleksibel (Sarwono dan Warjiyo,1998:8). Akan tetapi kenyataannya di Indonesia menunjukkan hal yang sebaliknya. Hal ini dimungkinkan karena dalam kenyataannya otoritas moneter (Bank Indonesia) di Indonesia lebih condong menggunakan jalur suku bunga dalam mekanisme kebijakan moneter. Ketidakstabilan makroekonomi dapat dipengaruhi dengan menaikkan atau menurunkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI).

Dalam konteks kestabilan nilai tukar mata uang Rp/US$, intervensi Bank Indonesia dapat berupa pembelian mata uang asing (US$) atau penjualan mata uang asing (US$) di pasar valas. Perekonomian dalam negeri akan merespon kebijakan intervensi ini melalui perubahan dalam kegiatan ekonomi. Meskipun demikian dalam penelitian ini menunjukkan hasil yang sebaliknya. Semakin tinggi aktivitas perekonomian domestik akan memberikan efek secara tidak langsung terhadap pergerakan dalam nilai tukar mata uang Rp/US$.

Hasil temuan dalam penelitian ini juga memberikan hasil bahwa selama tahun 1975-2004 sistem nilai tukar yang dianut selama ini lebih condong ke fixed exchange rate system. Hal ini dapat ditandai oleh adanya ketidakefektifan kebijakan moneter dalam mempengaruhi output (PDB). Bahkan sebaliknya kebijakan fiskal dapat efektif dalam mempengaruhi output (Dornbusch, dkk, 2004:328).

Hasil penelitian ini senada dengan temuan oleh Kwan (2001) dalam penelitiannya tentang pengaruh antara pertumbuhan ekonomi di US dan fluktuasi nilai tukar Yen/US$ terhadap perekonomian negara-negara Asia Timur selama tahun 1982-1997. Hasilnya menunjukkan terdapat pengaruh yang cukup signifikan antara pertumbuhan ekonomi di US dan fluktuasi nilai tukar mata uang terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia Timur. Begitu pula dengan hasil penelitian oleh Kumakura (2005:38) tentang pengaruh antara fluktuasi nilai tukar mata uang domestik terhadap US$ dengan pertumbuhan ekonomi di negara-negara di Asia Timur. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat pengaruh negatif nilai tukar terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia Timur selama tahun 1985-2004.

Berdasarkan pada temuan empiris pada penelitian ini dan hasil penelitian lain yang relevan menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi relatif memberikan dampak terhadap fluktuasi nilai tukar mata uang di berbagai negara. Kasus di Indonesia memberikan gambaran bahwa ada variabel antara (channel variabel) antara pertumbuhan ekonomi dengan nilai tukar Rp/US$. Berdasarkan mekanisme dalam transmisi kebijakan moneter Indonesia dijelaskan bahwa kebijakan moneter merupakan salah satu pilihan kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah guna menjaga stabilitas makroekonomi suatu negara. Secara teoritis alur mekanisme transmisi kebijakan moneter menurut Friedman (1975) terdiri dari :

Instrumen kebijakan moneter

Sasaran operasional

Sasaran

antara

Sasaran

akhir

Sedangkan secara operasional terdapat 4 jalur transmisi utama yang menunjukkan bagaimana kebijakan moneter dapat mempengaruhi perekonomian (Mishkin,1995 ; Boediono,1996), yaitu :jalur suku bunga, jalur nilai tukar, jalur harga aset dan jalur kredit.

Dalam kaitannya dengan jalur nilai tukar dapat disimpulkan bahwa pergerakan nilai tukar paling berpengaruh terhadap perekonomian khususnya perekonomian terbuka dengan sistem nilai tukar fleksibel. Pengetatan moneter akan mendorong suku bunga nominal dalam negeri meningkat. Jika suku bunga internasional tidak berubah maka interest rate differential meningkat, dan ini akan mendorong masuknya dana dari luar negeri. Nilai tukar akan cenderung mengalami apresiasi. Kegiatan ekspor akan menurun dan sebaliknya impor akan meningkat, sehingga transaksi berjalan dalam neraca pembayaran akan membaik. Akibatnya, permintaan aggregate akan menurun dan demikian pula laju pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi (Sarwono dan Warjiyo, 1998:8).

Kesimpulan

Seiring dengan dinamika perekonomian dunia yang semakin mengglobal, pergerakan arus barang, jasa dan modal dalam perekonomin antar negara menjadi semakin meningkat. Dalam hal ini, nilai tukar mata uang suatu negara akan berfluktuasi sesuai dengan pergerakan dalam faktor-faktor yang mempengaruhinya. Fluktasi nilai tukar mata uang suatu negara merupakan konsekuensi dari semakin meningkatnya interaksi pelaku ekonomi di berbagai negara. Penggunaan mata uang asing dalam setiap bertransaksi menunjukkan semakin meningkatnya kegiatan ekonomi yang melewati batas-batas teritorial suatu negara.

Dinamika yang terjadi dalam perekonomian nasional selama tahun 1975-2004 juga tidak terlepas dari perkembangan perekonomian luar negeri. Arus kegiatan ekspor dan impor barang dan jasa serta capital flow mengalami peningkatan yang cukup siginifikan. Pergerakan nilai tukar mata uang Rp/US$ mengalami perkembangan yang menunjukkan kecenderungan depresiasi. Hasil pengujian dengan menggunakan granger causality model terhadap perekonomian nasional selama tahun 1975-2004 tentang hubungan kausal antara nilait tukar Rp/US$ dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan hasil undirectional causality dari LPDB ke LKURS. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan tidak langsung dengan nilai kurs Rp/US$. Hasil temuan ini dapat disimpulkan bahwa kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar tidak efektif untuk mempengaruhi output nasional selama tahun 1975-2004 dan sistem nilai tukar lebih condong ke fixed exchange rate system.

Saran

Sebagai akhir dari tulisan ini perlu kiranya direnungi bersama tentang mekanisme kebijakan moneter dalam mempengaruhi stabilitas dalam pergerakan nilai tukar Rp/US$. Sesuai dengan teori yang ada, dalam flexible exchange rate system kebijakan moneter dapat efektif mempengaruhi output prekonomian. Dalam implementasinya di Indonesia, pemberlakuan sistem tersebut masih belum sepenuhnya dilaksanakan. Pada tahun 1980 an pemerintah pada saat itu masih sering melakukan devaluasi dengan tujuan-tujuan tertentu. Setelah krisis pada pertengahan tahun 1997 pemerintah lebih konsisten dalam menerapkan flexible exchange rate system dengan rentang nilai kurs pada kisaran tertentu. Semakin efektif kebijakan moneter dalam menjaga stabilitas kurs nilai tukar, maka stabilitas makroekonomi menjadi lebih terjaga dalam konstelasi perekonomian dunia yang semakin mengglobal dewasa ini.

Daftar Pustaka


Abel, Andrew B dan Ben S.Bernanke, 2004.Macroeconomic, Fifth Edition, Pearson Addison Wesley, New York


Amato, Jeffery, Andrew Filardo, Gabriele Galati. Goetz Von Peter dan Feng Zhu, 2005.”Research on Exchange Rates and Monetary Policy:an Overview”, Bank For International Settlement, No.178, June:1-19


Boediono, 1994.”Melihat Kembali Target Moneter Kita:M0,M1 atau M2:Catatan Direktur Bidang Moneter”, Bank Indonesia, Oktober


Bond, Timothy J, et al., 1994.”Money, Interest and Inflation”, URES Discussion paper, Bank Indonesia, Juni


Buissan, A dan P. L’Hotellerie-Fallois, 2004.”Exchange Rates, Inflation, Output and Trade:A Macro for Spain and Euro Area”, Mimeo, Bank of Spain



Dornbusch, Rudigner, Stanley Fischer, Richard Startz, 2004.Macroeconomics, Ninth Edition, McGraw-Hill, Boston



Granger, C.J.W, 1969.”Investigating Causal Relations by Ecometric Models and Cross Spectral Methods”, Econometrica, July:424-438


Miskhin, Frederich S, 1995.”Symposium on the Monetary Transmission Mechanism”, Journal of Economic Perspetives, Vol.9,No.4,Fall


----------------------------,2003.The Economic of Money, Banking, and Financial Markets, Boston, Addison Wesley


Kumakura, Masanaga, 2005.”Trade,Exchange Rate, and Macroeconomic Dynamics in East Asia:Why the Electronic Cycle Matters”, Institute of Developing Economies (IDE),Jetro, Jepang :1-48


Kwan, C.H, 2001.Yen Bloc:Toward Economic Integration in Asia, Washington DC:Brookings Instituion Press.

Debelle, G dan G. Galati, 2005.”Current Account Adjustment and Capital Flows”, BIS Working Paper, No.169, February


Sarwono, Hartadi A. dan Perry Warjiyo, 1998.”Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel:Suatu Pemikiran Untuk Penerapannya di Indonesia”,Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli:1-23


Soesastro, Hadi, 2004.”Kebijakan Persaingan, Daya Saing, Liberalisasi, Globalisasi, Regionalisasi dan Semua Itu”, CSIS Economic Working Paper, Maret :1-25























PERANAN SUMBER DAYA MANUSIA DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI

PERANAN SUMBER DAYA MANUSIA DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI


1.TEORI HUMAN CAPITAL

Secara teoritis pembangunan mensyaratkan adanya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. SDM ini dapat berperan sebagai faktor produksi tenaga kerja yang dapat menguasai tehnologi sehingga dapat meningkatkan produktivitas perekonomian. Unutk mencapai SDM yang berkualitas dibutuhkan pembentukan modal manusia (human capital). Pembentukan modal manusia ini merupakan suatu untuk memperoleh sejumlah manusia yang memiliki karakter kuat yang dapat digunakan sebagai modal penitng dalam pembangunan. Karakter ini dapat berupa tingkat keahlian dan tingkat pendidikan masyarakat

Pentingnya modal manusia dalam pembangunan telah dimulai pada tahun 1960-an oleh pemikirannya Theodore Schultz tentang investment in human capital. Menurutnya pendidikan merupakan suatu bentuk investasi dalam pembangunan dan bukan merupakan suatu bentuk investasi. Dalam perkembangannya, Schultz memperlihatkan bahwa pembangunan sektor pendidikan dengan memposisikan manusia sebagai fokus dalam pembangunan telah memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Hal ini dapat dicapai melalui terjadinya peningkatan keahlian/keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja.

Secara empiris kondisi SDM di negara maju dengan negara sedang berkembang berbeda baik dalam kualitas maupun kuantitasnya. Negara sedang berkembang dihadapkan kepada suatu realitas bahwa produktifitas tenaga kerjanya rendah. Hal ini disebabkan karena kualitas SDM masih rendah. Sedangkan di negara-negara maju, pendidikan dapat menjadi sebagai suatu investasi modal manusia (human capital investment). Akibatnya kualitas SDM nya tinggi sehingga produktivitas tenaga kerjanya juga tinggi.

Terdapat dua pendekatan penting dalam teori human capital yaitu: pendekatan Nelson-Phelps (1966) dan pendekatan Lucas (1988). Pendekatan oleh Nelshon-Phelps, Aghion dan Howitt (1966) menyimpulkan bahwa human capital merupakan faktor yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Munculnya perbedaan dalam tingkat pertumbuhan diberbagai negara lebih disebabkan oleh perbedaan dalam stock human capital. Aghion dan Howitt mendukung pendekatan Nelson-Phelps tentang stock human capital yang menyimpulkan bahwa angkatan kerja yang lebih ahli dan terdidik akan lebih mampu mengisi kualifikasi lapangan pekerjaan yang ditentukan. Dengan kata lain pekerja yang mempunyai pendidikan lebih tinggi akan mampu merespon inovasi yang selanjutnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu Negara (Meir dan Rauch,2000:216). Sedangkan pendekatan Lucas (1988) lebih menekankan adanya suatu signifikansi akumulasi human capital terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurutnya terdapat dua faktor yang menjadi penyebab adanya pembentukan human capital di suatu negara. Kedua faktor tersebut adalah pendidikan dan learning by doing.

Hasil penelitian

Barro (1998) menganalisis pengaruh pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi 100 negara selama tahun 1960-1995. Variabel-variabel bebas ini antara lain: Government Consumption / GDP, Years of schooling (as proxy of human capital), Life Expectancy, Inflation rate, Rule of Law Index, Democracy Index, Fertility Rate, Investment / GDP, Growth rate of Terms of Trade. Sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah Pertumbuhan GDP perkapita. Dengan menggunakan model analisis regresi linier berganda hasil penelitian tersebut memberikan kesimpulan adanya pengaruh yang signifikan antara pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi. Secara lebih detail variabel human capital memiliki peranan lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi dari pada varaibel physical capital.

2. TEORI PERTUMBUHAN EKONOMI

Pembangunan ekonomi suatu negara dapat ditujukan untuk mencapai kesejahteraan hidup masyarakat secara berkelanjutan. Tujuan kesejahteraan merupakan suatu tujuan yang masih bersifat global dan sulit untuk mengukur tingkat kesejahteraan suatu negara. Dalam hal ini, teori ekonomi memberikan berbagai macam pendekatan untuk mengukur dan mengetahui tingkat kesejahteraan suatu negara. Salah satunya adalah dengan mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Secara konseptual pertumbuhan ekonomi suatu negara menunjukkan suatu perkembangan kegiatan ekonomi dari satu periode ke periode berikutnya. Kegiatan ekonomi yang dimaksud akan menghasilkan output (pendapatan). Sehingga pertumbuhan ekonomi pada dasarnya menunjukkan perkembangan output dari periode ke periode berikutnya. Guna mencapai tingkat output tersebut dibutuhkan akumulasi modal yang sesuai dengan tingkat output yang diinginkan. Pertumbuhan ekonomi dalam pengertian ini secara matematis dapat diturunkan dari persamaan berikut (Meier dan Rauch, 2000 123):

Diasumsikan output merupakan fungsi dari modal (physical capital dan human capital), maka

Y = f (k) .

Bentuk khusus dari persamaan tersebut dapat dituliskan lagi menjadi

f(k) = Ak

Tingkat pertumbuhan ekonomi dari dua periode waktu yang berbeda dapat ditulis menjadi:

Berdasarkan pada formula di atas, maka pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang yang dihasilkan oleh perekonomian suatu wilayah. Berdasarkan pada pengertian tersebut, maka terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam pertumbuhan ekonomi, yakni adanya proses pertumbuhan, output per kapita dan jangka waktu yang panjang dalam pertumbuhan ekonomi (Boediono, 1999:1 2). Aspek pertama menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses yang berlangsung secara dinamis dan bukan suatu gambaran ekonomi pada suatu saat. Aspek kedua adalah output per kapita yang menunjukkan output total dibandingkan dengan jumlah penduduk. Sedangkan aspek ketiga menunjukkan bahwa suatu pertumbuhan ekonomi dapat terjadi bila kenaikan output per kapita terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama. Guna mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi seperti yang dibarapkan, maka terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan, yakni : terdapatnya akumulasi modal, pertumbuhan penduduk kususnya pertumbuhan angkatan kerja dan terdapatnya kemajuan tehnologi (Todaro,2000:115).

Teori pertumbuhan ekonomi menurut Stren (1991:123) menjelaskan mengenai akumulasi modal fisik, kemajuan tehnologi (keahlian), adanya inovasi dan ide ide baru, pertumbuhan penduduk, dan bagaimana faktor faktor produksi yang ada digunakan. Secara umum perkembangan dalam teori pertumbuhan dapat dibedakan ke dalam tiga pemikiran, yakni teori pertumbuhan Harrod Domar, teori pertumbuhan Neoklasik dan teori pertumbuhan Endogen.


2.1. Teori Pertumbuhan Harrod Domar

Teori Harrod Domar merupakan pengembangan dari teori ekonomi makro Keynes dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Menurut Harrod Domar pembentukan modal merupakan faktor penting yang menentukan pertumbuhan ekonomi. Pembentukan modal tersebut dapat diperoleh dari akumulasi tabungan yang dilakukan oleh penduduki sehingga bermanfaat bagi kegiatan investasi (Gillis, dkk, 1996:41 42:Solow,1994:45). Secara matematis model pertumbuhan Harrod Domar dapat dituliskan sebagai berikut:

g = s/v

Dimana notasi g merupakan pertumbuhan ekonomi, s menunjukkan marginal propensity to save dan notasi v merupakan rasio antara modal dengan output (Capital Output Ratio).

Persamaan (1.5) tersebut menunjukkan bahwa keseimbangan dalam pertumbuhan ekonomi tergantung pada tabungan dan perbandingan modal dengan output. Menurut Harrod Domar hanya pada kondisi dimana g s/v, pertumbuhan dalam kapasitas output akan sesuai dengan pertumbuhan permintaannya. Bila tingkat pertumbuhan yang terjadi melenceng dari jalur semestinya (warranted/natural rates), maka akan mengakibatkan ketidakstabilan dalam perekonomian. Pada keadaan ini tidak terjadi adanya penyesuaian sendiri ke posisi keseimbangan yang diharapkan. Kondisi dimana keseimbangan yang terjadi melenceng dari jalur semestinya disebut sebagai knife edge, sehingga memerlukan campur tangan pemerintah agar terjadi keseimbangan yang diharapkan.

Secara grafis fungsi produksi model pertumbuhan Harrod Domar dapat digambarkan sebagai berikut (Branson, 1989:571):


Gambar 1.1:

Fungsi Produksi Harrod Domar

Pada Gambar tersebut K merupakan modal, L merupakan tenaga kerja, v merupakan jumlah modal, a menunjukkan jumlah tenaga kerja dan Qo dan Q1 merupakan tingkat output pada Qo dan Ql. Menurut Harrod Domar guna mencapai tingkat output tertentu, maka dibutuhkan sejumlah modal dan tenaga kerja tertentu pula, sehingga rasio modal dan tenaga kerja akan bersifat tetap.

2.2. Teori Pertumbuhan Neoklasik

Teori pertumbuhan Neoklasik yang dikembangkan oleh Solow (1956) dan pengikutnya didominasi oleh pemikiran mengenai pertumbuhan pendapatan per kapita dalam jangka panjang dan perkembangan yang semakin meningkat. Dalam teorinya Solow memfokuskan perhatiannya pada proses pembentukan modal. Menurutnya tingkat tabungan merupakan tambahan pembiayaan terhadap stok modal nasional. Perekonomian dengan rasio K/L rendah, akan memiliki tambahan pendapatan modal (marginal productivity of capital) yang tinggi. Kemudian bila sebagian pendapatan ditabung, maka akan tedadi kenaikan dalam investasi. Sehingga hal ini akan mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi (Grossman dan Helpman, 1994:25).

Teori pertumbuhan Neoklasik muncul guna mengkritisi pendapat Harrod Domar mengenai pertumbuhan yang stabil. Menurut Neoklasik keseimbangan dalam pertumbuhan ekonomi tidak kaku seperti pada pendapatnya Harrod dan Domar. Bila pada Harrod Domar perbandingan antara modal dan tenaga kerja (K/L) dianggap tetap, maka dalam teori pertumbuhan Neoklasik dinyatakan bahwa perbandingan tersebut bersifat fleksibel sesuai dengan perkembangan yang mempengaruhinya. Sehingga keseimbangan yang dihasilkan tidak bersifat kaku. Dengan kata lain perekonomian dimungkinkan tidak berada dalam keseimbangan, meskipun dalam perkembangan berikutnya akan terdapat kekuatan yang menyebabkan kondisi keseimbangan tercapai lagi.

Teori pertumbuhan Neoklasik dapat diuraikan ke dalam suatu fungsi produksi Cobb Douglas, dimana output merupakan fungsi dari tenaga kerja dan modal. Sedangkan tingkat kemajuan tehnologi merupakan variabel eksogen. Asumsi yang dipakai dalam model neoklasik adalah adanya constant return to scale, adanya substitusi antara modal dan tenaga kerja dan adanya penurunan dalam tambahan produktivitas (diminishing marginal productivity) (Branson, 1989:576). Fungsi produksi Cobb Douglas yang dimaksud adalah :

Q = f(K,L)

dimana. Y merupakan tingkat output, K merupakan modal dan L merupakan tenaga kerja. Persamaan outputnya dapat ditulis menjadi :

Q = bK L 1-

dimana Q merupakan tingkat output, b merupakan tingkat kemajuan tehnologi, K merupakan modal, L merupakan tenaga kerja, dan 1 merupakan elastisitas output terhadap input modal dan tenaga kerja.

Pesamaan (1.7) dirubah menjadi produktivitas per tenaga kerja, maka masing masing sisi dibagi dengan L, sehingga persamaannya menjadi :

Q/L = b(K/L)

dengan <>

q = b(k)

dimana q = Q/L dan k = K/L. Secara grafis hubungan antara q dengan k dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 1.2:

Keseimbangan Pertumbuhan Neoklasik


Pada gambar di atas gambar fungsi produksi f(k) merupakan rasio modal terhadap tenaga kerja dan dibuat dengan anggapan bahwa marginal product dari k menurun. Kurva (gl/s) merupakan kurva yang menunjukkan rasio antara pertumbuhan tenaga kerja (gl) dengan marginal propensity to save (s). Kurva (gl/s) k merupakan garis lurus karena baik gl dan s merupakan koefisien yang nilainya diberikan secara eksogen (konstanta), sehingga (gl/s) merupakan konstanta pula. Oleh karena itu (gl/s)k merupakan garis lurus dengan kemiringan sebesar (gl/s) (Boediono, 1999:90).

Perkembangan perekonomian sepanjang fungsi produksi f(k) dengan adanya kenaikan dalam k dari kl, k2 sampai k*, maka akan meningkatkan rasio modal terhadap tenaga kerja (k=K/L). Peningkatan dalam k ini akan diringi dengan kenaikan dalam output per pekerja (q=Q/L) pada. titik q*. Sehingga keseimbangan akan terjadi pada, perpotongan antara kurva (g1/s)k dengan kurva f(k), yakni pada q* dan k*. Kondisi terebut merupakan keseimbangan yang bersifat stabil. Bila terdapat kondisi yang tidak stabil ((gl/s)k f(k)), maka akan terdapat kekuatan yang mendorong terjadinya keseimbangan.

Selain masalah keseimbangan dalam pertumbuhan ekonomi, analisis teori pertumbuhan Neoklasik juga menunjukkan adanya konvergenitas pertumbuhan ekonomi antar negara. Berdasarkan teori pertumbuhan Neoklasik, maka hukum pertambahan hasil yang menurun menyebabkan pertambahan output mengalami penurunan, meskipun terjadi pertambahan pada modal. Secara grafis hal ini dapat dilihat pada. gambar berikut :


Gambar 1.3:

Konvergenitas Dalam Pertumbuhan Ekonomi Neoklasik

Pada gambar tersebut, k menunjukkan rasio modal terhadap tenaga kerja, q menunjukkan rasio output terhadap tenaga kerja dan f(k) merupakan fungsi dari rasio antara modal terhadap teriaga kerja (k). Meskipun k meningkat dalam jumlah yang sama ((ko,kl)=(k2,k3)), tetapi kenaikan dalam. q akan lebih besar pada perekonomian dengan kondisi awal k yang rendah ((qo,ql) > (q2,q3)).

Oleh karena itu menurut teori Neoklasik, negara miskin dengan tingkat rasio modal terhadap tenaga kerja (k) rendah dapat memiliki tambahan produktivitas modal (marginal productivity of cqpital=Q/K) yang tinggi, sehingga akan dapat meningkatkan pertumbuhannya guna mengejar ketertinggalannya dengan negara maju. Hal ini karena di negara maju terjadi pertambahan hasil yang semakin menurun (diminishing marginal qf capital). Sehingga menurut teori pertumbuhan Neoklasik akan terjadi konvergenitas pendapatan perkapita antar negara negara miskin dengan negara maju (Barro, 1991:407 ; Cronovich,2001:6).

2.3. Teori Pertumbuhan Endogen

Teori Pertumbuhan endogen merupakan suatu teori pertumbuhan yang menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses yang bersumber dari dalam suatu sistem (Romer, 1994:3 ; Barro dan Martin, 1999:38). Teori pertumbuhan endogen muncul sebagai kritik terhadap teori pertumbuhan Neoklasik mengenai diminishing margirtul produciivdy of cupital dan konvergenitas pendapatan di berbagai negara. Berdasarkan studi empiris yang telah dilakukan menunjukkan bahwa tidak adanya konvergenitas pendapatan di berbagai negara (Rotner, 1994:4). Hal ini karena pada negara negara yang sudah maju, telah mengembangkan tehnologi yang dapat meningkatkan kapasitas produksinya. Kemajuan tehnologi tersebut salah satunya didukung oleh adanya sumber daya manusia yang berkualitas, sehingga mereka dapat melakukan inovasi tehnologi yang dapat memberikan manfaat besar terhadap pembangunan. Sehingga walaupun negara berkembang mampu meningkatkan akumulasi modal fisiknya, akan tetapi perkembangan tersebut belum dapat mengejar ketertinggalan dengan negara maju. Dalam hal ini teori perumbuhan endogen menjelaskan mengapa akumulasi modal tidak mengalami diminishing return, tetapi justru. mengalami increasing return dengan adanya spesialisasi dan investasi di bidang sumber daya manusia (Meier, 2000:75).

Teori pertumbuhan endogen memiliki tiga elemen dasai, yakni (Rivera Butiz dan Romer. 1991.530 555) , pertama, perubahan tehnologi yang bersifat endogen melalui proses akumulasi pengetahuan ; kedua, adanya penciptaan ide baru oleh perusahaan sebagai akibat adanya mekanisme spillover dan learning by doing dan ketiga, produksi barang barang konsumsi yang dihasilkan oleh fungsi produksi pengetahuan yang tumbuh tanpa batas.

Teori pertumbuhan endogen yang dipelopori oleh Romer (1986) dan Lucas (1988) merupakan awal kebangkitan dari pemahaman baru mengenai faktor faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang (Pack, 1994:55). Hal ini seiring dengan perkembangan dunia yang ditandai oleh perkembangan tehnologi modern yang digunakan dalam proses produksi. Sehingga permasalahan dalam pertumbuhan ekonomi tidak bisa dijelaskan secara baik oleh teori Neoklasik, seperti penjelasan mengenai decreasing return to capital, persaingan sempurna dan eksogenitas tehnologi dalam model pertumbuhdn ekonomi (Grossman dan Helpman, 1994: 27).

Munculnya teori pertumbuhan endogen dapat dinyatakan dalam suatu persamaan : Y AK, dimana Y merupakan tingkat output, A menunjukkan faktor­-faktor yang mempengaruhi (tehnologi, sedangkan K merupakan stok modal fisik dan sumber daya manusia. Dalam model pertumbuhan tersebut tidak terjadi penurunan hasil yang menurun dari modal (diminishing marginal of capital) seperti pada teori neoklasik. Hal ini disebabkan karena adanya berbagai eksternalitas (sumber daya manusia, kemajuan tehnologi) yang dapat mengimbangi berbagai kecenderungan terjadinya penurunan hasil (Pack, 1994:56:Romer dan Martin, 1999:40). Dalam hal ini Romer menekankan pentingnya eksternalitas yang berhubungan dengan pembentukan modal manusia dan pengeluaran untuk kegiatan penelitian. Dengan model pertumbuhan Y=AK dimana =l, maka model pertumbuhan endogen menunjukkan bahwa akumulasi modal, pengetahuan dan pengalaman (learnig by doing) tidak akan mengalami pertambahan hasil yang menurun. Sehingga terdapatnya peningkatan dalam rasio K/L, maka akan dapat meningkatkan Y/L secara proporsional. Kemudian rasio K/Y atau Capital Output Ratio (COR) akan tetap meskipun terjadi penurunan hasil yang semakin menurun.

3.PERANAN MODAL MANUSIA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI

Modal manusia dapat menjadi sumber daya manusia yang handal dalam pembangunan apabila kualiasnya tinggi. Dalam hal ini sSumber daya manusia dalam pembangunan memiliki peranan penting dalam kaitannya untuk meningkatkan kualitas pembangunan dan menjaga kelangsungan pembangunan itu sendiri. Dalam kaitannya dengan teori pertumbuhan ekonomi, maka Krugman (1994) mengatakan bahwa investasi sumber daya manusia menjadi lebih penting peranannya dalam pembangunan. Hal ini karena kegiatan dalam akumulasi modal fisik dapat mengakibatkan penambahan hasil yang menurun dalam penggunaan modal (marginal diminishing return of capital), sedangkan pembangunan membutuhkan kelangsungan dalam jangka panjang. Sehingga adanya investasi sumber daya manusia dapat meningkatkan kemajuan tehnologi yang pada akhirnya dapat menimbulkan kenaikan produktivitas penduduk (Deolalikar, 1997:13).

Sumber daya manusia yang berkualitas bagi negara sedang berkembang merupakan faktor penting dalam upaya untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dengan negara lain. Era informasi dan tehnologi yang berkembang dewasa ini semakin membuktikan bahwa penguasaan, tehnologi yang baik akan berdampak pada kualitas maupun kuantitas pembangunan itu sendiri. Agar tehnologi dapat dikuasi, maka dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam kontek proses produksi, maka adanya penguasaan tehnologi yang baik, maka akan mendorong terjadinya inovasi tehnologi. Inovasi tehnologi tersebut pada akhirnya dapat menyebabkan penemuan produk produk baru dan cara produksi yang lebih efisien (Barro, 1991:408 ; Mankiw, dkk, 1992:92 Romer, 1994:36).

Guna mencapai sumber daya manusia yang berkualitas, maka dibutuhkan beberapa, upaya, diantaranya adalah dengan melakukan pengembangan sumber daya manusia. Schultz mengemukakan beberapa upaya untuk mengembangkan sumber daya manusia, diantaranya adalah terdapatnya pendidikan yang diorganisasikan secara formal pada tingkat dasar, menengah dan pendidikan pada tingkat tinggi (Jhingan, 1996:521 522).

Manfaat dari adanya pendidikan bagi pembangunan ekonomi suatu bangsa secara umum dapat dilihat dari pendapat Todaro (2000:343), yakni :

  1. dapat menciptakan tenaga kerja yang lebih produktif, karena adanya peningkatan pengetahun dan keahlian ;

  2. tersedianya kesempatan kerja yang lebih luas

  3. terciptanya suatu kelompok pemimpin yang terdidik guna mengisi jabatan-jabatan penting dalam dunia usaha maupun pemerintahan ;

  4. tersedianya berbagai macam program pendidikan dan pelatihan yang pada akhirnya dapat mendorong peningkatan dalam keahlian dan mengurangi angka buta huruf.

Perkembangan dalam kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dari berbagai aspek. Berbagai penelitian yang ada menunjukkan bahwa terdapat beberapa parameter untuk mengetahui perkembangan kualitas sumber daya manusia, seperti angka indek guna pendidikan (Bank Dunia, 2000:206) ; angka melek huruf, kesehatan dan pendidikan (Deolalikar, 1997:134 137).

Tinjauan dari aspek pendidikan menunjukkan bahwa perkembangan kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dari angka partisipasi sekolah (enrolment ratio), yakni rasio jumlah siswa terdidik pada usia sekolah terhadap jumlah penduduk usia sekolah, baik usia sekolah pada tingkat dasar, menengah maupun tingkat perguruan tinggi (Ghatak dan Siddiki,1999:1 33 ; Siddiki dan Daly, 2002:1 30: Mankiw, Romer dan Weil 1992:407 437).

Semakin besar rasio tersebut menunjukkan bahwa tingkat partisipasi penduduk terhadap pendidikan di sekolah mengalami peningkatan. Sebaliknya semakin rendah rasio tersebut menunjukkan tingkat partisipasi penduduk terhadap pendidikan di sekolah rendah. Sehingga indikator angka partisipasi sekolah dapat menggambarkan perkembangan kualitas sumber daya manusia dalam pembangunan. Investasi yang cukup besar pada sumber daya manusia dapat mendorong peningkatan dalam angka partisipasi sekolah. Peningkatan dalam angka partisipasi sekolah (enrolment ratio) dapat berdampak pada peningkatan kualitas maupun kuantitas pembangunan suatu negara.


DAFTAR PUSTAKA



Barro, Robert J., 1998, Human Capital and Growth in Cross Country Regressions, Journal of Economics, Jurnal of Economics Harvard University No. 214.


Barro, Robert J dan Xavier Sala I Martin, 1999. Economic Growth, MIT Press


Boediono, 1999. Teori Petumbuhan Ekonomi, Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No.4, Edisi Pertama, BPFE


Branson, William H, 1989. Macroeconomic Theory and Policy, Third Edition, Harper & Row Publisher


Cronovic, Ron. 2001. “Note on Neo Classical Growth Theory”, www.biz.uiowa. edu/class/6e002/lectures/notes 12. pdf : 18 02 02 : 1 –11


Deolalikar, Anil, dkk, 1997. “Competitiveness and Human Resource Development in Asia, Asian Development Review, Vol. 15, No.2:131 163



Gillis, Malcom, dkk, 1996. Economic of Development, fourth edition, W.W Norton & Company


Gommel, Norman, 1996. “Evaluating The Impact Of Human Capital Stock And Acculmulation On Economic Growth : Some New Evidence”. Oxford Bulletin Of economic And Statistics Vol, 58, No. 1


Grossman, Gene M. dan Elhanan Helpman, 1994. “Endogenous Innovation in The Teheory of Growth”, Journal of Economic Perspective, Vol.8, No.1 : 23-44



Hogendorn, Jan S, 1996. Economic Development, third edition, Harper Collin College Publisher


Jingan, M.L, 1996. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Radja Grafindo


Lewin, Keith M, 1997. “Educational Development in Asia : issues in Planning, Policy, and Finance”, Asian Development Revie Vol.15,No.2:86 130


Luca,Ribert E.Jr,1988.”On The Mechanics of Economic Development”,Journal of Monetary Economics,22,Juli:3-42

Mankiw, N Gregory, David Romer and David N.Weil. 1992. “A Contribution to The Empirics of Economic Growth", Quartely Journal of Economics, May


Meir, Gerald M. and James E. Rauch2000. Leading Issues in Economic Development, Seventh Edition, Oxford University Press.


Nelson,Richard and Edmund Phepls,1966.”Investment in Humans,Technologies Diffusion,and Economic Growth”,American Economic Review : Paper and Procedings 61:69-75

Pack, Howard, 1994. “Endogenous Growth Theory”, Journal of Economic Perspectives, Vo. 8,No. 1, Winter: 55 72


Rivera Batiz, Luis A dan Paul M Romer, 1991. “Economic Integration and Endogeneos Growth”, Quartely Journal of Economics Vol.CVI, May:530555


Romer, Paul M. 1986. “Increasing Return and Long Growth”, Journal of Political Economy, 94 Oktober 1002 1037.


Solow, Robert, 1994. “Terspectives on Growth Theory” Journal of Economic Perspectives, Vol 8.No. 1, Winter:45 54


Stern, Nicholas, 1991. “The Determinants Of Growth”, Economic Journal, No. 101, Januari : 122 133


Schultz,T.W, 1961.”Education and Economic Growth”,In N.B.Henry ed.,Social Forces Influencing American Education,Chicago:University of Chicago Press.


Todaro, Michael, 2000, Penerjemah Harris Munandar dan Burhanuddin Abdullah, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga EDISI 7, Erlangga, Jakarta.